Rabu, 29 September 2010

DEBAT POLITIK DAN ELEKTABILITAS CALON PRESIDEN/ Emma Ayu Lirani (04)

Panggung debat calon presiden ternyata tidak banyak berpengaruh untuk mendongkrak tingkat elektabilitas kandidat capres-cawapres. Bahkan debat politik juga tidak mempunyai korelasi yang signifikan dalam mempengaruhi persepsi pemilih. Setidaknya itu kesimpulan utama hasil temuan terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI), pada 30 Juni - 2 Juli lalu.
Hasil temuan LSI menunjukkan, meskipun mayoritas responden, sebesar 64 persen menilai penampilan dan materi Susilo Bambang Yudhoyono paling baik di antara kandidat lainnya, namun hal itu tampaknya tak mempengaruhi tingkat elektabilitas SBY. Bahkan, tingkat elektabilitas SBY mengalami penurunan dari 67 persen (20 Juni) menjadi 63 persen (2 Juli).
Hal yang sama juga terjadi pada Megawati Soekarno Putri dan Jusuf Kalla. Meskipun hanya 13 persen responden yang menilai penampilan Megawati baik, namun tingkat elektabilitas Megawati mengalami kenaikan dari 16 persen (20 Juni) menjadi 19,6 persen (2 Juli). Korelasi antara kualitas debat dengan tingkat elektabilitas juga terjadi pada Jusuf Kalla. Meskipun hanya 11 persen responden yang menilai penampilan Kalla baik, namun tingkat elektabilitas Kalla mengalami kenaikan dari 9 persen (20 Juni) menjadi 10,6 persen (2 Juli).

Kasus Pemilu Presiden Amerika

Berbeda dengan Indonesia, pemilu presiden di Amerika Serikat 2008 lalu justru
menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara kualitas debat dengan tingkat elektabilitas kandidat calon presiden. Hal itu terlihat jelas dari hasil polling nasional yang dilakukan oleh CNN (Cable News Network) dan Opinion Research Corp sehari setelah digelarnya debat oleh Commision on Presidential Debate (DPD), sebuah organisasi non-profit yang telah menyelenggarakan debat presiden sejak pemilu presiden 1988.
Hasil polling CNN dan Opinion Research Corp menunjukkan adanya korelasi antara performa dan kualias Barrack Obama dalam debat calon presiden dengan tingkat elektabilitas Obama. Dalam tiga kali polling nasional yang dilakukan CNN dan Opinion Research Corp, persepsi positif pemilih terhadap Obama terus meningkat dari 51 persen sampai 58 persen. Pada saat yang sama hasil polling yang dilakukan oleh Gallup juga menunjukkan peningkatan elektabilitas Obama setelah debat dilakukan.
Pada polling pertama CNN, 25 September 2008 (hari pertama debat capres), 51 persen responden memilih Obama sebagai pemenang debat, hanya 38 persen yang memilih Mc-Cain. Korelasi antara performa debat dengan elektabilitas Obama tampak hasil polling Gallup yang menunjukkan peningkatan elektabiltas Obama sebesar 3 persen dari 45 persen (8 -14 September 2008) menjadi 48 persen (22 - 28 September 2008).
Pada putaran kedua debat, 7 Oktober 2008, hasil polling CNN menunjukkan 54 persen responden memilih Obama sebagai pemenang debat. Dan hanya 30 persen yang memilih Mc-Cain. Tingginya persepsi positif terhadap performa Obama dalam debat presiden juga tampak dari polling Gallup yang menunjukkan peningkatan elektabilitas Obama sebesar 3 persen dari 48 persen (22-28 September 2008) menjadi 51 persen (6-12 Oktober 2008).

Tiadanya Korelasi Debat

Pertanyaannya, mengapa performa debat calon presiden tak memiliki korelasi signifikan
dengan tingkat elektabilitas kandidat? Ada beberapa alasan untuk menjawabnya. Pertama, tradisi politik Indonesia belum menempatkan debat sebagai salah satu instrumen politik bagi masyarakat untuk menilai visi dan misi kandidat capres/cawapres. Apalagi, dalam sejarah pemilu demokratis, Indonesia baru dua kali menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung (pemilu 2004 dan 2009). Selama rezim Orde Baru, nyaris politik kita tanpa pelaksanaan pemilu presiden yang demokratis. Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang notabene adalah perpanjangan tangan Orde Baru.
Selain itu, pasca-reformasi, formula debat juga belum menjadi pilihan politik untuk "menguji" kualitas kandidat. Makanya, meski kita telah menyelenggarakan pemilu yang demokratis dan pemilihan presiden secara langsung pada 2004, debat belum menjadi instrumen politik untuk melihat kualitas kandidat.

Kedua, belum meratanya sebaran akses televisi bagi banyak pemilih di Indonesia. Mayoritas pemilih yang mempunyai banyak akses untuk menonton acara debat politik capres/cawapres umumnya adalah masyarakat yang tinggal perkotaan. Padahal, mayoritas pemilih dalam pilpres mendatang berada di pedesaan.
Ketiga, masih sedikitnya pemilih yang rasional. Sehingga motivasi dalam memilih capres/cawapres tidak didasarkan pada pertimbangan rasional tetapi pertimbangan tradiosional, seperti agama, kharisma, patron-klien, dan sebagainya.
Keempat, masih lemahnya pendidikan politik. Secara umum, masyarakat belum memberikan penilaian yang positif terhadap debat. Apalagi, debat politik masih dianggap tabu dan tak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran. Kelima, masyarakat sudah yakin dalam menentukan pilihan politiknya sebelum acara debat digelar (LSI, 2009), sehingga performa kandidat capres/cawapres dalam debat politik tak banyak mempengaruhi masyarakat untuk merubah pilihan politiknya.
Akhirnya, tiadanya korelasi antara debat dan elektabilitas politik menunjukkan betapa kita memang belum terbiasa dengan debat. Dan mungkin, karena elite politik kita juga belum siap berdebat di ruang publik. Mungkin nanti, bila pemilih rasional di Indonesia semakin meningkat dan pendidikan politik telah merata, debat adalah pilihan terbaik untuk "menguji" kualitas kandidat capres/cawapres. Sehingga performa kandidat dalam debat akan berpengaruh banyak pada tingkat elektabilitas kandidat. Dan debat politik bisa menjadi alternatif dan instrumen politik untuk mempengaruhi persepsi dan opini pemilih tentang kualitas debat capres/cawapres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar