Rabu, 29 September 2010

Pantun Demokrasi/ Odiyana P. Griadhi (23)

Orang meninggal orang melayat 
Orang baik dapat tamu 
Wahai engkau wakil rakyat! 
Ingatkah engkau akan janjimu? 

Abis makan bersendawa 
Jangan lupa nonton kartun 
Hai kakak-kakakku mahasiswa! 
Berdemokrasilah dengan santun 

Kampung adat kampung aman 
Jalan – jalan ama Bagas 
Para wakil rakyat yang budiman 
Harus jujur, adil, dan tegas 

Minimarket banyak obral 
Para ibu siap berlaga 
Wakil rakyat yang tidak bermoral 
Hak kami engkau renggut juga

Ibu – ibu beli terasi 
Banyak orang yang melarat 
Laksanakan aturan demokrasi 
Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat 

Nenek – nenek makan nasi akik 
Anak – anak makan bubur 
Pemilihan umum yang baik 
Pemilihan yang bebas dan jujur 

Anak kucing makan itik 
Si Maimun dan Si Mubarok 
Pilkada pake money politic 
Pilkada yang sudah bobrok 

Kera sakti si manusia kera 
Telur dadar dimakan Jaja 
Persamaan hak bagi warga negara
Hanya sekedar teori saja

Pantaskah engkau mengkritik? / Jan Wira Gotama Putra (15)

“Mana ? Tunjukan janjimu ! “. “Saya kecewa dengan pemerintah yang sekarang selalu…”. Dan masih banyak kalimat-kalimat lainnya yang baik sengaja maupun tidak sengaja terlontarkan pada pemerintah kita sekarang ini. Mulai dari persoalan gas, dan kenaikan TDL, pemerintah memang seaakan tidak mau mendengarkan aspirasi dari rakyat, tapi apakah anda mengetahui bagaimana jika anda di posisi pemerintah? Tentu saja pasti anda akan sangat hati-hati dalam mengambil kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak ini. Contohnya saja TDL, jika tidak dinaikkan, mungkin akan berakibat fatal, persediaan batu bara di dunia semakin menipis, tentu saja harganya akan semakin mahal, dan apabila TDL tidak dinaikkan, apakah anda tidak berpikir PLN dan Negara mungkin saja rugi?
Memang susah persoalan di Negara kita ini, yang mulai dari atas sampai bawah bermasalah. Dari praktik korupsi skala besar yang proses penuntasannya lama, sampai korupsi kecil-kecilan di tingkat bawah yang terselubung. Sebagai warga Negara yang baik, ada baiknya kita tidak hanya mengkritik, ataupun menghakimi pemerintah, tetapi kita juga ikut memberikan solusi apa yang harus mereka lakukan, kan ada DPR sebagai penampung aspirasi rakyat. Dalam hal memilih, ada baiknya masyarakat lebih berhati-hati, dan tidak melihat uang semata. Saat kampanye, ada istilah money politic, yang biasanya si calon terpilih membagi-bagikan uangnya saat kampanye, mestinya rakyat juga berpikir, yang kita butuhkan adalah kecerdasan si calon terpilih itu, bukan uangnya.
Moral warga Negara ini mulai kurang baik sekarang, untuk itu sangat diperlukan pelajaran PKN dan pelajaran moral di sekolah, karena dari dunia pendidikanlah lahir para calon pemimpin bangsa ini, jika pendidikan terpuruk, maka Negara juga akan terpuruk.

“ Berikanlah dirimu sebuah momen kedamaian,
Dan engkau akan mengerti
Betapa bodohnya terburu-buru

Belajarlah untuk hening,
Dan engkau akan mengetahui
Dirimu telah terlalu banyak bicara

Jadilah bajik
Dan engkau akan mengetahui
Dirimu telah terlalu keras menghakimi orang lain

--Pepatah China Kuno ”


Lihatlah untaian kalimat yang indah diatas, terutama bagian terakhir “…Dirimu telah terlalu keras menghakimi orang lain…”. Seperti itulah kebanyakan masyarakat Indonesia sekarang ini, kebanyakan menghakimi orang lain, terutama pemerintah kurang ini, kurang itu, padahal jika dipikir kalau kita yang menduduki posisi itu, apakah mampu? Atau malah lebih parah lagi?
Jadi mari kita terlebih dahulu memperbaiki diri kita sendiri, dimulai dari diri kita sendiri yang menjadi masyarakat yang baik, tertib, sadar hukum, taat pada peraturan, dan tidak menyalahkan pemerintah terus, tetapi ikut serta dalam membangun. Bukan berarti pemerintah tidak mempunyai kekurangan atau mengkritik itu tidak baik, tapi akan lebih baik apabila kita sama-sama memperbaiki diri kita dahulu, jika semua rakyat Indonesia, mau memperbaiki dirinya masing-masing, saya yakin Negara ini akan menjadi lebih baik, daripada sekarang ini yang hanya bisa menyalahkan pemerintah.
Intinya, untuk memperbaiki Negara kita tercinta yang makin terpuruk ini, yaitu dengan memperbaiki jiwa kita masing-masing dahulu, otomatislah yang menjabat akan terperbaiki, karena pejabat itu kan lahirnya dari rakyat, rakyat sehat, pemerintah sehat, Negara sehat.

Pantun jenaka / Rifqy Syaiful Bahri (25)

Banyak noda pada kain
Nodanya berasal dari daun suji
Janganlah kau pilih seorang pemimpin
Yang hanya bisa mengumbar janji

Ke pasar Beli terasi
Karena terasi nikmat rasanya
Perlukah kita demonstrasi
Jika tak ada hasilnya

Si Adul menjual karpet
Pada rumah makan prasmanan
Jangan hanya menyebar pamflet
Kalau pemerintahannya diragukan

Di pasar ada orang kikir
Berjualan sate sambil membawa burung gelatik
Jika kita pikir-pikir
Sudah dewasakah kita melakukan debat politik?

Kalau tali itu ditarik
Maka tombol itu ditekan
Jika kamu warga yang baik
Berbudaya politiklah sesuai aturan

Mogok/ Kadek Dian Kartika Khrisnayanti (10)

Mogok kerja atau pemogokan adalah peristiwa di mana sejumlah besar karyawan perusahaan berhenti bekerja sebagai bentuk protes. Jika tidak tercapai persetujuan antara mereka dengan majikan mereka, maka mogok kerja dapat terus berlangsung hingga tuntutan para karyawan terpenuhi atau setidaknya tercapai sebuah kesepakatan. Pemogokan kadang digunakan pula untuk menekan pemerintah untuk mengganti suatu kebijakan. Kadang, pemogokan dapat mengguncang stabilitas kekuasaan partai politik tertentu.

Sebagai salah satu contoh yang saya dapatkan dari suatu sumber sebagai berikut:
Serikat Buruh Bangkit atau SBB hari ini, Jumat (7/5/2010) pukul 10.00 WIB, akan melakukan mogok kerja. Mereka akan menggelar aksinya di Apartemen Permata Senayan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Selain mogok kerja, hari ini juga akan diwarnai aksi unjuk rasa. Berdasarkan informasi dari Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya, unjuk rasa akan digelar di Gerbang Forum Harapan Indah, Bekasi pukul 13.00 WIB. TMC tidak menyebutkan dari elemen mana yang akan berunjuk rasa.
Unjuk rasa berikutnya berlangsung pukul 14.30-16.00 WIB di Kedubes Swiss, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Namun TMC juga tidak merinci dari elemen mana yang akan berunjuk rasa.
Padahal Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah membuat tentang akibat hukum mogok kerja yang tidak sah. Seperti apa yang tertulis dibawah ini.
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1.Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
2.dll. (tidak saya sebutkan)

Saran saya, sebaiknya para demonstran tidak melakukan aksi unjuk rasa yang berlebihan. Apalagi itu dapat memperlambat pekerjaan sebuah perusahaan. Dan itu tergolong unjuk rasa yang tidak sah. Jika kita pikirkan, hal itu sebenarnya sangat merugikan baik di pihak perusahaan dan diri kita sendiri. Karena dengan melakukan unjuk rasa dan mogok yang tidak sah, tidak akan mendapat tanggapan dari perusahaan tersebut. Sebaiknya untuk melakukan mogok dan unjuk rasa, kita sebagai warga negara yang baik, kita mematuhi aturan yang ada serta tidak berbuat anarkis.

PEMILU, PUNYA HAK PILIH, TAPI TIDAK DIGUNAKAN. APA KATA DUNIA? / Made Dewi Setyathi (09)

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas.
Tujuan dari diselenggarakannya pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Dalam Pemilu, masyarakat memiliki hak untuk memilih sedangkan orang-orang yang mengisi jabatan tertentu memiliki hak untuk dipilih. Hak memilih ini tercantum dalam Pasal 19 UU No. 10 Tahun 2008 yang berisikan bahwa :
(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Peserta pemilu tersebut dipegang oleh partai-partai yang mendukung. Peserta Pemilu ini akan mengadakan kampanye untuk berorientasi dengan masyarakat tentang apa program-program dan janji-janjinya setelah ia terpilih dan mengisi jabatan tersebut. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Namun, masalah yang sangat sering kita lihat pada saat pemilu dilaksanakan adalah adanya ”golput” atau tidak menggunakan hak pilihnya. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa mereka memilih melakukan golput. Padahal mereka akan sangat rugi jika tidak menggunakan hak pilih mereka.
Dulu, saat dunia ini belum melaksanakan demokrasi, rakyat menuntut agar mereka bisa memilih pemimpinnya secara langsung. Namun kini, saat demokrasi sudah dilaksanakan di berbagai Negara di dunia, termasuk di Indonesia, tidak sedikit yang malah tidak menggunakan hak pilihnya. Ini sangat ironis. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, riset membuktikan bahwa golput disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Kurangnya pengetahuan tentang calon-calon pemimpin, karena tidak pernah memperhatikan berita-berita yang ada di berbagai media massa, sehingga memilih golput karena takut salah pilih.

Karena sikap cueknya terhadap negaranya sendiri, jadi mereka tidak memilih satupun dari pilihan yang ada, karena menganggap pemilu itu tidak penting.
Sedangkan kerugian yang didapat jika kita tidak menggunakan hak pilih kita, antara lain:

Kehilangan hak pilih kita, tidak berpartisipasi dalam pemilu, dan tidak menjalankan program pemerintah, karena pemilu adalah salah satu program pemerintah.

Yang terpilih nanti belum tentu yang terbaik, karena satu suarapun sangat menentukan nasib bangsa kita dan sekaligus nasib kita sebagai rakyat.

Dari fakta di atas, terbukti sudah bahwa golput hanya mendatangkan kerugian. Jika kita golput, itu sama saja dengan tidak berpartisipasi dalam pemilu, dan tidak menjalankan program pemerintah, karena pemilu adalah salah satu program pemerintah.
Jika bukan kita yang memperdulikan nasib bangsa kita, siapa lagi yang akan merubah bangsa kita menjadi lebih baik. Karena satu suara dari kita akan menentukan naisib bangsa kita kedepannya.
(Sumber: www.google.com)

DEMONSTRASI / Dewi Purnama (08)

Seiring pergantian masa dari masa orde baru menuju ke masa reformasi, banyak sekali terjadi perubahan-perubahan di berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Salah satu yang paling menonjol adalah adanya kebebasan bagi setiap orang untuk mengeluarkan pendapatnya sseperti yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan pendapat salah satu di antaranya adalah melalui jalan demonstrasi. Demonstrasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok atau beberapa kelompok, baik yang memiliki kepentingan yang sama maupun kepentingan saling bertentangan dengan jalan memprotes tindakan atau kebijakan pemerintah atau pihak lain yang dianggap merugikan kepentingan para demonstran atau masyarakat yang diwakili. Aksi tidak sembarangan dapat dilakukan karena pihak-pihak yang akan melakukan demonstrasi harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan, diantaranya adalah memberikan laporan atau pemberitahuan kepada pihak yang berwajib atau aparat keamanan minimal 3 × 24 jam sebelum demonstrasi dilakukan. Hal ini bertujuan agar aksi demonstrasi tersebut mendapatkan jaminan keselamatan dari pihak yang berwajib. Selain itu, pihak-pihak yang melakukan aksi demonstrasi diharapkan agar tetap menjaga ketertiban selama menjalankan aksinya dan tidak mengganggu ketertiban dan ketenangan pihak-pihak lain yang tidak melaksanakan demonstrasi. Tapi, sudahkah bangsa kita melakukan aksi demonstrasi itu dengan benar?
Belakangan ini, aksi-aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia banyak yang akhirnya ricuh dimana terjadi bentrokan antara pihak yang melakukan demonstrasi dengan aparat keamanan yang menjaga dan mengawasi jalannya demonstrasi. Bahkan kadang kala bentrokan itu sampai menimbulkan korban jiwa. Hal lainnya yang dapat kita soroti adalah maraknya demonstrasi yang dipelopori oleh mahasiswa yang mendapat julukan kaum reformasi karena merekalah yang telah berhasil menjatuhkan Presiden Soeharto dan membawa bangsa ini menuju pada masa reformasi, khususnya para mahasiswa di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Mereka melakukan aksi tersebut dengan tujuan untuk memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang mungkin menurut mereka tidak adil bagi rakyat kebanyakan. Tapi, apakah aksi demonstrasi itu memang mereka lakukan karena mereka merasa kebijakan pemerintah itu tidak adil ataukah karena ada oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan mahasiswa yang memiliki tujuan-tujuan tersendiri dalam aksi demonstrasi itu?
Hal ini perlu kita perhatikan dengan baik karena tidak jarang mahsiswa di negeri kita memprotes kebijakan yang tetapkan oleh universitas mereka sendiri dan melakukan aksi demonstrasi. Tidakkah mereka berpikir bahwa tindakan mereka itu akan merugikan diri mereka sendiri karena waktu mereka untuk menuntut ilmu harus terbuang percuma saat mereka melakukan aksi demonstrasi itu. Kejadian-kejadian seperti itu sepatutnya mendapatkan perhatian dari berbagai pihak karena hal ini menunjukkan betapa bangsa kita belum dapat melaksanakan pemerintahan demokrasi yang baik dan benar. Untuk itu, sebaiknya perlu adanya kerja sama dan peran serta dari berbagai pihak guna menanamkan dan menumbuhkan budaya-budaya politik bagi generasi penerus bangsa kita. Karena penanaman sejak dini tentang budaya politik akan melahirkan jiwa-jiwa pemimpin yang cakap di kemudian hari dan membawa Indonesia semakin maju.

DEMONSTRASI DI NEGARA DEMOKRASI/ Ni Putu Yena Yossiana Devi (25)

“Aksi anarkis yang dilakukan mahasiswa menuntut penuntasan skandal Bank Century kembali terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan Kamis (4/2). Ratusan mahasiswa Universitas Sultan Alauddin Makassar berunjuk rasa dengan merusak fasilitas publik yang berada di sekitar Jalan Sultan Alauddin. Pos polisi yang berada di perempatan Jalan Pettarani dan Sultan Alauddin yang berada di dekat kampus juga menjadi sasaran pengrusakan. Selain memecahkan kaca-kaca, mereka juga menghancurkan perabotan di pos polisi…” (http://berita.liputan6.com)
Cuplikan di atas merupakan salah satu kasus dari sekian banyak kasus demonstrasi anarkis yang terjadi di Indonesia. Kerusuhan, menganggu ketertiban, dan anarkis, merupakan kesan yang ditangkap masyarakat Indonesia mengenai demonstrasi-demonstrasi yang terjadi di era reformasi ini. Demosntrasi memang merupakan hal yang wajar terjadi di negara-negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Namun perlu diingat pengertian dan tujuan dari demostrasi itu sendiri. Apa sebenarnya demonstrasi itu? Apakah tujuan kita melakukan demosntrasi? Bagaimanakah sikap dan perilaku kita ketika melakukan demosntrasi?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang patut kita jawab dan renungkan. Demonstrasi pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menyalurkan aspirasi. Apalagi saat ini tampaknya saluran politik di parlemen sedang macet, sehingga aksi-aksi demonstrasi makin marak terjadi. Seperti yang diungkapkan oleh Dzulfian Syafrian dalam weblog-nya, “Malang nasib kita, keadaan partai politik kita jauh dari kondisi ideal. Partai politik tidak lebih dari sekedar kendaraan politik untuk mencapai keinginan semu, minim ruh-ruh perjuangan, apalagi nilai-nilai pengorbanan. Yang ada adalah perlombaan untuk memperkaya diri. Wajar jika tidak sedikit wakil rakyat kita yang harus dibui lantaran tertangkap kasus korupsi…”
Demonstrasi yang marak terjadi tidak lain merupakan wujud kepedulian masyarakat sekaligus ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap system pemerintahan di Indonesia. Ditambah lagi seperti yang diungkapkan di atas, mengenai buntunya saluran aspirasi lewat DPR, membuat demonstrasi menjadi sesuatu yang sangat wajar. Dzulfian Syahrifan juga mengungkap bahwa semenjak era reformasi, kebebasan menyampaikan pendapat merupakan hadiah terbesar bagi negeri ini setelah lebih dari tiga puluh tahun suara rakyat dibungkan oleh kejamnnya zaman otoritarian ala orba. Alhasil, nampaknya di negeri ini berlaku istilah tiada hari tanpa demonstrasi.
Dilihat dari segi tujuan dan manfaat, jelas demonstrasi merupakan suatu hal positif jika tidak dibarengi dengan aksi “ANARKIS” para demosntran. Bagaimana tidak, gambaran mengenai demonstrasi secara umum menjadi sangat buruk diakibatkan oleh demonstran yang tidak bisa menahan emosinya sehingga melakukan aksi-aksi yang merusak fasilitas dan menganggu ketertiban serta keamanan. Demonstrasi anarkis ini biasanya dimaksudkan untuk menarik perhatian berbagai kalangan agar aspirasi mereka lebih didengar. Namun bukannya menarik perhatian positif, aksi anarkis ini malah dinilai negatif oleh sebagian masyarakat. Sering terdengar cibiran dalam masyrakat mengenai kaum intelektual yang berdemonstrasi anarkis, melempar batu, botol, bamboo, dan sebagainya.
Bayangkan, apakah yang ada dalam benak pemerintah kita ketika terhadi suatu masalah di negeri ini kemudian banyak orang berbondong-bondong turun ke jalan dengan membawa spanduk, slogan, dan tidak lupa mengikutsertakan bumbu-bumbu tindakan anarkis? Tentu saja hal ini akan membawa masalah baru. Belum lagi apabila terjadi bentrokan antara demosntran dan polisi. Sering kali terjadi kesalahpahaman antara demosntran dan polisi sehingga berawal dari demonstrasi, akan berujung pada jeruji besi.
Inikah yang dikehendaki oleh “aksi demonstrasi”? tentu tidak. Maka dari itu, tujuan mulia demonstrasi, yakni menyalurkan aspirasi guna membantu menyelesaikan permasalahan negeri ini janganlah dicampur adukkan dengan kepentingan pribadi atau golongan. Jangan pula dikaburkan dengan emosi yang meluap-luap dan akal sehat yang tertinggal di rumah sehingga maksud dari aksi demonstrasi tersebut akan tersampaikan dengan lebih baik
Demonstrasi tidak pernah salah. Kesalahan tindakan demonstrasi terdapat pada demosntran yang sekali lagi, kebanyakan tidak dapat menyelaraskan antara pikiran dan tindakannya. Demonstrasi yang sopan, santun, dan damai tentu akan lebih menarik simpati dan tanggapan positif dibandingkan dengan demosntrasi yang anarkis.

PUISI DEMOKRASI NEGERIKU/ Dwi Sastriani (12)

Hidup hanya panggung sandiwara
Memang benar…
Hanya panggung untuk para penguasa bermain-main
Mempermainkan hidup mereka
Bertaruhkan hati rakyat
Uang hanya alat
Tapi rakyat layaknya alas
Dan alas bukan di atas
Hanya dibawah, tempat injakan kaki bekas
Aku gundah…
Apa yang telah mengusikmu negeriku?
Para penguasa itu?
Ataukah rakyatmu?
Mengapa langkahmu lesu?
Kian membuatku pilu…
Melihatmu…
Aku luka, aku ragu…
Inikah Indonesiaku?
Inikah hidup berdemokrasi?
Jika iya, dimana tempat rakyat?
Terombang-ambing di atas dan di bawah
Tak tentu arah tak tentu pula melangkah
Lalu apa gunanya sang garuda?
Jika hidup saja sudah tak berperisai
Apa gunanya proklamasi?
Jika hak pun kian terantai
Demokrasi hanya manipulasi!
Hanya songkongan fiksi
Menyongkong yang berkuasa dan menginjak oposisi
Apa perlunya demokrasi ini
Jika rakyat hanya pelengkap, bukan pemeran
Demo di sana-sini
Sikap vandalisme dan apatis
Bukan bumbu demokrasi
Tapi jalan merusak hak asasi
Tapi…
Semua belum terlambat…
Belum terlambat untuk tetap menyebut Indonesiaku
Hanya butuh semangat itu
Semangat kebersamaan yang kian terbenam
Hidupkan!
Hidupkan lagi demokrasi itu!
Dan berdirilah
Lihat dan percayalah betapa kokohnya kita jika lakukan ini bersama

DEMOKRASI DI INDONESIA/ Kadek Yuda Dira Pratama (26)

Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi.

Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disapa SBY menerima anugerah medali demokrasi. SBY pun memaparkan panjang lebar perjalanan demokrasi Indonesia. Menurutnya, demokrasi Indonesia merupakan jawaban terhadap skeptisme perjalanan demokrasi di negeri ini. Beliau pun mencontohkan beberapa nada skeptis yang ditujukan kepada Indonesia. Pertama, demokrasi akan membawa situasi kacau dan perpecahan. Demokrasi di Indonesia hanyalah perubahan rezim, demokrasi akan memicu ekstrimisme dan radikalisme politik di Indonesia.

Beliau pun menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia menunjukkan Islam dan moderitas dapat berjalan bersama. Dan terlepas dari goncangan hebat akibat pergantian 4 kali presiden selama periode 1998-2002, demokrasi Indonesia telah menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu, Indonesia juga telah berhasil menjadi sebuah negara demokrasi terbesar di dunia dan melaksanakan pemilu yang kompleks dengan sangat sukses.

Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan perpecahan.

Sementara itu, mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang turut hadir menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi. Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan kekayaan hanya pada elit tertentu.

Demokrasi, menurut Anwar Ibrahim, adalah pemberian kebebasan kepada warga negara, sedangkan kegagalan atau keberhasilan ekonomi menyangkut sistem yang diterapkan.

DEBAT POLITIK DAN ELEKTABILITAS CALON PRESIDEN/ Emma Ayu Lirani (04)

Panggung debat calon presiden ternyata tidak banyak berpengaruh untuk mendongkrak tingkat elektabilitas kandidat capres-cawapres. Bahkan debat politik juga tidak mempunyai korelasi yang signifikan dalam mempengaruhi persepsi pemilih. Setidaknya itu kesimpulan utama hasil temuan terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI), pada 30 Juni - 2 Juli lalu.
Hasil temuan LSI menunjukkan, meskipun mayoritas responden, sebesar 64 persen menilai penampilan dan materi Susilo Bambang Yudhoyono paling baik di antara kandidat lainnya, namun hal itu tampaknya tak mempengaruhi tingkat elektabilitas SBY. Bahkan, tingkat elektabilitas SBY mengalami penurunan dari 67 persen (20 Juni) menjadi 63 persen (2 Juli).
Hal yang sama juga terjadi pada Megawati Soekarno Putri dan Jusuf Kalla. Meskipun hanya 13 persen responden yang menilai penampilan Megawati baik, namun tingkat elektabilitas Megawati mengalami kenaikan dari 16 persen (20 Juni) menjadi 19,6 persen (2 Juli). Korelasi antara kualitas debat dengan tingkat elektabilitas juga terjadi pada Jusuf Kalla. Meskipun hanya 11 persen responden yang menilai penampilan Kalla baik, namun tingkat elektabilitas Kalla mengalami kenaikan dari 9 persen (20 Juni) menjadi 10,6 persen (2 Juli).

Kasus Pemilu Presiden Amerika

Berbeda dengan Indonesia, pemilu presiden di Amerika Serikat 2008 lalu justru
menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara kualitas debat dengan tingkat elektabilitas kandidat calon presiden. Hal itu terlihat jelas dari hasil polling nasional yang dilakukan oleh CNN (Cable News Network) dan Opinion Research Corp sehari setelah digelarnya debat oleh Commision on Presidential Debate (DPD), sebuah organisasi non-profit yang telah menyelenggarakan debat presiden sejak pemilu presiden 1988.
Hasil polling CNN dan Opinion Research Corp menunjukkan adanya korelasi antara performa dan kualias Barrack Obama dalam debat calon presiden dengan tingkat elektabilitas Obama. Dalam tiga kali polling nasional yang dilakukan CNN dan Opinion Research Corp, persepsi positif pemilih terhadap Obama terus meningkat dari 51 persen sampai 58 persen. Pada saat yang sama hasil polling yang dilakukan oleh Gallup juga menunjukkan peningkatan elektabilitas Obama setelah debat dilakukan.
Pada polling pertama CNN, 25 September 2008 (hari pertama debat capres), 51 persen responden memilih Obama sebagai pemenang debat, hanya 38 persen yang memilih Mc-Cain. Korelasi antara performa debat dengan elektabilitas Obama tampak hasil polling Gallup yang menunjukkan peningkatan elektabiltas Obama sebesar 3 persen dari 45 persen (8 -14 September 2008) menjadi 48 persen (22 - 28 September 2008).
Pada putaran kedua debat, 7 Oktober 2008, hasil polling CNN menunjukkan 54 persen responden memilih Obama sebagai pemenang debat. Dan hanya 30 persen yang memilih Mc-Cain. Tingginya persepsi positif terhadap performa Obama dalam debat presiden juga tampak dari polling Gallup yang menunjukkan peningkatan elektabilitas Obama sebesar 3 persen dari 48 persen (22-28 September 2008) menjadi 51 persen (6-12 Oktober 2008).

Tiadanya Korelasi Debat

Pertanyaannya, mengapa performa debat calon presiden tak memiliki korelasi signifikan
dengan tingkat elektabilitas kandidat? Ada beberapa alasan untuk menjawabnya. Pertama, tradisi politik Indonesia belum menempatkan debat sebagai salah satu instrumen politik bagi masyarakat untuk menilai visi dan misi kandidat capres/cawapres. Apalagi, dalam sejarah pemilu demokratis, Indonesia baru dua kali menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung (pemilu 2004 dan 2009). Selama rezim Orde Baru, nyaris politik kita tanpa pelaksanaan pemilu presiden yang demokratis. Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang notabene adalah perpanjangan tangan Orde Baru.
Selain itu, pasca-reformasi, formula debat juga belum menjadi pilihan politik untuk "menguji" kualitas kandidat. Makanya, meski kita telah menyelenggarakan pemilu yang demokratis dan pemilihan presiden secara langsung pada 2004, debat belum menjadi instrumen politik untuk melihat kualitas kandidat.

Kedua, belum meratanya sebaran akses televisi bagi banyak pemilih di Indonesia. Mayoritas pemilih yang mempunyai banyak akses untuk menonton acara debat politik capres/cawapres umumnya adalah masyarakat yang tinggal perkotaan. Padahal, mayoritas pemilih dalam pilpres mendatang berada di pedesaan.
Ketiga, masih sedikitnya pemilih yang rasional. Sehingga motivasi dalam memilih capres/cawapres tidak didasarkan pada pertimbangan rasional tetapi pertimbangan tradiosional, seperti agama, kharisma, patron-klien, dan sebagainya.
Keempat, masih lemahnya pendidikan politik. Secara umum, masyarakat belum memberikan penilaian yang positif terhadap debat. Apalagi, debat politik masih dianggap tabu dan tak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran. Kelima, masyarakat sudah yakin dalam menentukan pilihan politiknya sebelum acara debat digelar (LSI, 2009), sehingga performa kandidat capres/cawapres dalam debat politik tak banyak mempengaruhi masyarakat untuk merubah pilihan politiknya.
Akhirnya, tiadanya korelasi antara debat dan elektabilitas politik menunjukkan betapa kita memang belum terbiasa dengan debat. Dan mungkin, karena elite politik kita juga belum siap berdebat di ruang publik. Mungkin nanti, bila pemilih rasional di Indonesia semakin meningkat dan pendidikan politik telah merata, debat adalah pilihan terbaik untuk "menguji" kualitas kandidat capres/cawapres. Sehingga performa kandidat dalam debat akan berpengaruh banyak pada tingkat elektabilitas kandidat. Dan debat politik bisa menjadi alternatif dan instrumen politik untuk mempengaruhi persepsi dan opini pemilih tentang kualitas debat capres/cawapres.

PANTUN JENAKA / Cahyadi Wiranata Kusuma (06)

Ke pasar beli tahu
Tak jua lupa beli terasi
Kalo boleh saya tau
Apakah arti demonstrasi?

Adik kecil meminum asi
Kakak laki memakan ikan
Boleh saja demonstrasi
Arnakilah kita musnahkan

Jalan-jalan ke taman asri
Dimana pohon tumbuh lebat
Bila ingin beraspirasi
Budaya apakah yang tepat?

Pemain kecapi bermusik cepat
Tak kalah juga pemain rebab
Budaya politik semua tepat
Asal disertai tanggung jawab

Ikan bandeng ikan kerapu
Bila dimakan terasa kenyal
Aku hanya ingin tau
Dari mana siri berasal

Mukul paku dengan palu
Paku ipukul dengan kencangnya
Bila anda ingin tau
Makasarlah jawabannya

Kamis, 16 September 2010

Anarkisme dalam demonstrasi, perlukah? (ANNA KRISTINA HALIM/4)

Seperti yang kita ketahui demonstrasi merupakan salah satu contoh budaya politik konvensional,dimana kita dapat mengungkapkan aspirasi kita secara bebas, namun biasanya demonstrasi ini dilakukan apabila cara konvensional tidak menemukan jalan keluar. Namun seiring dengan perkembangan jaman terkadang sering sekali di negara kita tercinta Indonesia ,demonstrasi diwarnai dengan keanarkisan para demostrannya.
Anarkisme pada saat melakukan demostrasi memang sangat merugikan berbagai pihak, selain banyak berjatuhan korban , juga banyak dari para demostran yang merusak fasilitas negara, sebenrnya apa saja faktor penyebab keanarkisan ini membludak? Pertama-tama banyak sekali para demonstran yang datang dari kaum berpendidikan, tapi mengapa mereka malah terkadang merusak fasilitas negara? Bukankah mereka semua adalah kaum yang berpendidikan dan tentunya pasti tahu, apa akibat dan kerugian merusak dan bersikap anarkisme. Memang, dengan bersikap sedikit ‘brutal’ bisa membuat pemerintah mendengarkan aspirasi kita, tapi bukankah lebih baik jika kita benar-benar melakukan demonstrasi dengan cara yang teratur, selain tidak menimbulkan kerugian, kita juga bisa mencontohkan kepada generasi-generasi selanjutnya bahwa Demonstrasi bukan lah budaya politik yang harus dilaksanakan dengan anarkisme. Bisa dibayangkan jika semua menganggap demonstrasi merupakan suatu budaya politik yang mencerminkan keanarkisan para demonstran, padahal demonstrasi sebenarnya lumrah dilakukan karena diperbolehkan bagi pemerintah, tapi seharusnya kita sebagai kaum muda apalagi yang merupakan kaum yang berpendidikan yang telah mendapat pendidikan tinggi seharusnya memberi contoh pada generasi-generasi selanjutnya agar kelak nanti jika ingin mengungkapkan aspirasi , pengungkapannya harus dalam bentuk demonstrasi yang teratur atau sejenisnya.

Sering sekali saya melihat di tv atau media sejenisnya, banyak para demonstran tersebut menghacurkan fasilitas negara seperti telepon umum, dll. Mungkin merusak seperti itu dikiranya akan merugikan pemerintah dan pemerintah akan bertinda lebih lanjut, padahal fasilitas-fasilitas seperti itu bukankah diperuntukan bagi masyarakat? Toh juga masyrakat kita sendiri yang menggunakannya. Jika itu dirusak bukankah pemerintah harus mengeluarkan lagi biaya untuk meperbaikinya? Biaya itu datang darimana? Ya tentu dari pajak –pajak yang kita bayarkan ke pemerintah, jadi intinya kalo merusak hal hal seperti itu toh nantiya juga uang kita sendiri yang digunakan untuk mengganti. Jadi selain memberikan contoh yang buruk, kita juga tak langsung dirugikan .selain itu tak sedikit tindakan demonstrasi yang anarkis menyebabkan kematian karena kebrutalannya sendiri, ingin mengungkapkan aspirasi malah jadi korban, bukankah menjadi mati sia-sia jika mati dengan cara seperti itu? jadi bukankah lebih baik kalau demonstrasi dilakukan dengan teratur dan tertib sehingga kita mampu mengungkapkan aspirasi dan suasana yang tercipta jadi lebih aman.